PEMAAFAN SEBAGAI TERAPI JIWA: MENYELAMI SURAT AN-NUR AYAT 22 DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI

Oleh : Andri Saputra Lubis, S. Psi., M.Psi
_____________________

Seiring dengan semakin kompleksnya tantangan kehidupan sosial dan interpersonal, kita sering dihadapkan pada luka dan konflik yang mendalam. Pemaafan, sebagai suatu ajaran yang mendasar dalam banyak tradisi agama, termasuk Islam, kini mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam dunia psikologi. QS. An-Nur ayat 22 menjadi salah satu ayat yang sangat relevan, mengajak kita untuk memaafkan, bukan hanya karena alasan sosial atau agama, tetapi juga demi kesejahteraan jiwa.

Pemaafan, baik memaafkan diri sendiri maupun memaafkan orang lain, dalam perspektif agama dan psikologi, membawa kita pada pemahaman bahwa tindakan tersebut adalah penyembuhan batin, yang juga berdampak pada hubungan antarmanusia.

Di tengah kehidupan yang penuh tantangan dan gesekan antar individu, QS. An-Nur: 22 menawarkan pesan yang dalam mengenai pentingnya pemaafan. Ayat ini mengingatkan kita bahwa orang yang diberi kelebihan baik itu harta, kedudukan, atau kebijaksanaan, dianjurkan untuk tidak membiarkan amarah menguasai diri. Sebaliknya, mereka diminta untuk memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan. Ayat ini berbunyi: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah; dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Tidakkah kamu ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. An-Nur: 22).

Kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat ini adalah peristiwa fitnah yang menimpa Sayyidah Siti Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Salah satu pihak yang terlibat dalam menyebarkan fitnah ini adalah Mistah bin Utsatsah, seorang kerabat dari Sayyidina Abu Bakar RA yang menerima bantuan darinya. Abu Bakar yang merasa sakit hati sempat berkeinginan untuk menghentikan bantuannya kepada Mistah. Namun, Allah memberikan wahyu untuk memaafkan, dengan menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang memaafkan, sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut di atas.

Pemaafan, sebagaimana diajarkan dalam Islam, bukan hanya tentang melepaskan kesalahan orang lain, tetapi juga sebagai proses penyucian diri dari perasaan-perasaan negatif yang dapat merusak hati. Dalam konteks ini, pemaafan bukan hanya menjadi tindakan sosial yang baik, tetapi juga merupakan terapi jiwa yang mendalam.

Dalam perkembangan psikologi kontemporer, pemaafan telah banyak diteliti dan dianggap sebagai proses yang memiliki dampak positif terhadap kesehatan mental dan fisik. Dr. Robert Enright, salah satu tokoh utama dalam kajian terapi pemaafan, berpendapat bahwa memaafkan adalah sebuah perubahan sikap psikologis terhadap mereka yang telah menyakiti kita. Menurut Enright, langkah pertama dalam proses memaafkan adalah mengakui perasaan sakit dan kekecewaan, diikuti dengan upaya untuk melihat tindakan orang lain dari perspektif yang lebih empatik. Yang pada akhirnya, pemaafan menjadi pilihan untuk melepaskan kebencian, bukan untuk membenarkan kesalahan orang lain, tetapi untuk memberi ketenangan dan kedamaian pada diri sendiri.

Berbagai studi psikologi menunjukkan, bahwa individu yang mampu memberikan maaf kepada orang lain cenderung mengalami penurunan yang signifikan dalam tingkat tekanan mental, kecemasan, serta gejala depresi. Bahkan dalam sejumlah kasus, proses memaafkan turut membantu memperbaiki kualitas tidur dan memberikan dampak positif terhadap kondisi fisik secara umum. Temuan ini sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Dr. Robert Enright dan Dr. Everett Worthington, yang menyimpulkan bahwa tindakan memaafkan memainkan peran penting dalam mendukung pemulihan emosional dan meningkatkan keseimbangan psikologis secara keseluruhan.

Dr. Everett Worthington, yang mengembangkan model pemaafan yang dikenal dengan REACH (Recall, Empathize, Altruistic gift, Commit, Hold), juga menekankan bahwa memaafkan adalah hadiah bagi diri sendiri. Proses ini melibatkan pemahaman terhadap perasaan marah dan luka, kemudian memutuskan untuk melepasnya. Worthington berpendapat bahwa ketika seseorang memaafkan, ia memberi kedamaian dalam hidupnya, dan membebaskan diri dari belenggu emosional yang menahan perkembangan pribadinya.

Dalam perspektif psikologi Islam, pemaafan adalah salah satu cara untuk menyucikan hati (tazkiyatun nafs). Islam mengajarkan bahwa hati yang dipenuhi dengan amarah dan dendam dapat menghalangi ketenangan batin dan pertumbuhan spiritual. Untuk mencapai sakinah atau kedamaian sejati, seorang Muslim dianjurkan untuk memaafkan, bukan hanya demi kebaikan orang lain, tetapi juga untuk membersihkan dirinya sendiri dari beban emosional yang dapat merusak hubungan dengan Allah dan sesama.

Imam Al-Ghazali dalam karya-karyanya yang monumental, menekankan bahwa pemaafan adalah salah satu jalan untuk mengatasi penyakit hati, dan merupakan cara untuk memperoleh kedamaian batin. Dalam pandangannya, pemaaf adalah orang yang mengendalikan amarah dan membalas keburukan dengan kebaikan. Menurut Al-Ghazali hal tersebut merupakan tanda kematangan spiritual yang sejati.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga menyatakan, bahwa pemaafan membawa pada penyembuhan jiwa, dan ia mengaitkannya dengan pencapaian kedamaian sejati. Bagi Ibnu Qayyim, memaafkan adalah proses melepaskan beban batin, dan jalan untuk mencapai kedamaian dengan Tuhan. Ini merupakan bentuk kekuatan jiwa, karena orang yang memaafkan tidak membiarkan emosi negatif menguasai dirinya.

Dalam ajaran Islam, pemaafan adalah cara untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. QS. An-Nur: 22 mengingatkan bahwa dengan memaafkan, kita akan menerima ampunan dari Allah, yang lebih besar dan lebih indah dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.

Ketika kita membandingkan pandangan psikologi Barat dan psikologi Islam, kita akan menemukan keduanya memberikan kesimpulan yang saling melengkapi. Psikologi Barat menekankan manfaat psikologis dari pemaafan, seperti peningkatan kesehatan fisik dan mental, sementara Islam mengajarkan bahwa pemaafan adalah jalan menuju pembersihan jiwa dan kedamaian batin yang lebih mendalam. Kedua pandangan ini menekankan bahwa pemaafan adalah proses penyembuhan, bukan hanya untuk orang yang kita maafkan, tetapi juga untuk diri kita sendiri.

Pemaafan dalam QS. An-Nur: 22 mengajarkan kita bahwa langkah untuk memaafkan adalah jalan menuju kesembuhan batin. Dengan memaafkan, kita tidak hanya membersihkan hati dari rasa marah dan dendam, tetapi juga membuka jalan bagi ketenangan jiwa yang membawa kita lebih dekat dengan Allah, dan memberi kita kedamaian dalam mengarungi kehidupan.

Jika kita merenungkan kembali pesan yang terkandung dalam QS. An-Nur: 22, kita akan menyadari bahwa pemaafan bukan hanya suatu pilihan moral, tetapi juga jalan menuju kedamaian sejati. Dalam dunia yang dipenuhi konflik dan ketegangan ini, pemaafan adalah kebutuhan jiwa, yang membawa kita keluar dari lingkaran kebencian dan kemarahan yang hanya memperburuk hubungan dengan diri sendiri dan orang lain.

Memaafkan adalah proses yang tidak mudah, apalagi ketika hati kita terluka dalam-dalam. Namun apabila kita memandang pemaafan sebagai kesempatan untuk membebaskan batin dari jeratan luka emosional, maka tindakan ini menjadi semacam jalan menuju ketenangan yang tulus. Ia tidak sekadar menyangkut pemberian maaf kepada pihak yang bersalah, tapi lebih dari itu, sebuah bentuk kasih terhadap diri sendiri, memberi ruang bagi hati untuk pulih, serta membuka peluang tumbuhnya kedewasaan emosional yang lebih matang.

Baik melalui pesan Ilahi yang tercermin dalam QS. An-Nur: 22, maupun berdasarkan pendekatan ilmiah dalam psikologi kontemporer, pemaafan merupakan langkah yang mampu membawa seseorang keluar dari pusaran rasa sakit dan dendam menuju pemulihan batin yang menyeluruh. Dunia ini selalu dipenuhi oleh orang yang salah dan khilaf, makanya tidak ada pilihan bagi kita selain selalu menghiasi diri dengan sifat pemaaf.

Di titik ini, kita melihat bahwa makna sejati dari memaafkan bukan terletak pada melupakan kesalahan, tetapi dalam keputusan sadar untuk tidak membiarkan kesalahan itu mengikat jiwa kita. Pemaafan menjadi bentuk kekuatan yang tenang, namun memiliki dampak luar biasa dalam memperbaiki hubungan dan menenangkan batin. Dan pada akhirnya, memaafkan adalah langkah sunyi yang mengantar manusia menuju kedamaian batin yang sejati, jiwa yang bersih, hati yang lapang, dan hubungan yang kembali dekat dengan manusia dan sang Maha Pemaaf.

 

_________
Penulis adalah mahasiswa Doktoral di UIN Sumatera Utara, Dosen di STAI Raudhatul Akmal, dan Penjamin Mutu di Ponpes Darul Adib Medan

rel="Dofollow">>